Old school Easter eggs.
Layang-layang, Pelangi, dan Bidadari
(dimuat di Harian SINAR HARAPAN, Sabtu, 18 September 2004)

Sayup-sayup semarak suara kotek ayam di belakang rumah menyambut terbukanya kelopak mata Oji. Serta-merta matahari kuning menyapa bola matanya melalui celah jendela kaca di dekat ranjangnya. Oji langsung beranjak turun dari ranjang kayunya. Pikirannya sedang disuguhi oleh banyak layang-layang yang mengapung di angkasa. Dibiarkannya selimut tergeletak di kasur. Selembar sarung bantal teronggok di pojok, terlepas dari bantalnya. Sudut seprei keluar dari tindihan kasur.

“Hei, Oji, mau ke mana?” tegur ibunya yang sedang menggoreng tahu ketika Oji berjalan tergesa-gesa menuju kamar mandi yang berdekatan dengan dapur. “Masih pagi. Jangan main dulu, biarpun libur panjang. Nanti Ibu lapor ayah lho!”

Aaaah, gerutu batin Oji. Ia memperlambat langkahnya lantaran kecewa. Keinginannya bergabung bersama kawan-kawan main di kampungnya untuk bermain layang-layang pun pupus selagi masa liburan panjang baru mulai hari ini dikecapnya. Padahal kemarin atau hari pertama liburan seusai pembagian raport, kawan-kawannya sudah bebas bermain. Ia kecewa, kenapa orangtuanya tidak seperti orangtua kawan-kawannya yang membebaskan kawan-kawannya bermain.

“Tempat tidur sudah kamu beresi, belum, Ji? Masak tiap pagi harus Ibu peringatkan? Kamu sudah naik kelas V, bukan bayi lagi. Nanti kalo ayah tiba-tiba memeriksa kamarmu dan tempat tidur masih semrawut, baru tahu rasa kena jewer lagi! Juga meja belajarmu, harus dirapikan. Jangan berantakan begitu. Buku pelajaran kelas IV simpan di rak di gudang. Buku-buku komik kembalikan di tempatnya. Mana buku komik punyamu, mana punya kakakmu, mana punya adikmu. Mainan-mainanmu kumpulkan dan masukkan lagi di dos. Jangan sampai berceceran tidak karuan. Kalo nanti ayahmu pulang kerja, melihat barang-barang itu belum kamu bereskan, awas, bisa-bisa kamu...”

“Iya, Bu, sebentar. Oji mau pipis dulu,” sahutnya cepat. Ia kuatir ayahnya mendengar dan kemudian benar-benar menjewernya karena mengetahui Oji akan segera bermain dengan kawan-kawannya. Masih sangat membekas hukuman cetot ayahnya di pahanya beberapa hari silam sewaktu ayahnya mengetahui (setelah dilapori oleh kakaknya) Oji baru pulang dari berenang di sungai bersama kawan-kawannya. Ia sering tidak percaya kalau ayah atau ibunya mengatakan bahwa di sungai banyak ular, ada buaya, ada lumpur yang mematikan, ada banjir bandang, dan lain-lain. Setahunya, berenang di sungai bersama kawan-kawan sungguh mengasyikkan. Buaya, ular besar, lumpur maut, banir bandang dan lain-itu tak pernah dijumpainya. Tapi keasyikan itu harus dibayar dengan hukuman cetot di pahanya. Untung saja tidak dibarengi dengan tempelengan. Biasanya ayahnya lebih dulu melayangkan telapak tangan ke kepala Oji (Oji merasakan seperti terkena benturan keras dari papan setebal tiga sentimeter).

“Selesai membereskan tempat tidur, kamu jangan main dulu. Singkong untuk makan ayam belum diparut. Cucian-cucian yang belum kering di ember, kamu jemur lagi. Oh iya, lantai belum disapu. Bibimu repot sendirian di dapur. Kakakmu tadi pagi sekali sudah berangkat, bertamasya perpisahan dengan kawan-kawan sekelasnya ke pantai Sanlochu. Ibu mau ngantar adikmu ke rumah sakit. Gara-gara kemarin kamu ajak main hujan-hujanan, semalaman dia demam.”

Cihui! Mudah-mudahan habis beres-beres ranjang ibu belum pulang, pikir Oji.

***

Langit lapang, cakrawala cemerlang. Tak ternoda secuil pun oleh bongkahan mendung. Matahari belum meninggi. Burung tiyung bersiul di antara dedaunan pohon rambai. Sebagian anak-anak laki-laki di kampungnya Oji berkumpul di halaman belakang rumah Nek Jarmi yang dipayungi oleh beberapa pohon cempedak, melinjo, jambu bol, jengkol dan petai. Oji pun berada di sana, bergabung dengan kegiatan kawan-kawannya dalam rangka musim layang-layang. Ia sedang menumbuk pecahan bola lampu di dalam kaleng susu atas suruhan seorang kawannya yang tengah mempersiapkan tungku dari batu bata. Ancaman ibunya tadi pagi sudah hilang dari ingatannya semenjak ayahnya berangkat ke kantor, ibu dan adiknya pergi ke rumah sakit, dan tempat tidur sudah dirapikannya.

Cuaca cerah hari ini tampaknya akan memberi kesempatan pada mereka untuk bisa bermain layang-layang sepuas hati. Sekelompok anak-anak sedang meraut bambu-bambu agak kering yang baru saja mereka ambil di kebun Uwak Dul. Beberapa potong yang sudah jadi dengan ukuran panjang-tipis umumnya layang-layang, mereka timbang. Setelah seimbang, mereka ikat. Pada ujung-ujung kerangka bambu mereka satukan dengan seutas benang jahit. Kemudian mereka tempelkan pada selembar kertas minyak.

Sementara sekelompok anak lainnya, termasuk Oji, sedang membuat membuat benang gelasan Beberapa anak memasak ramuan di atas tungku batu bata. Ramuan yang terdiri dari tepung kanji, serbuk beling bola lampu, dan air secukupnya itu tampak mendidih. Satu anak terus mengaduk ramuan dalam kaleng susu itu. Satunya lagi bersiap memasukkan segelondong benang. Di dekat mereka, dua anak sedang memasang campuran benang dan ramuan itu pada batang-batang sekitarnya. Keduanya berjalan di batang-batang yang telah mereka pilih untuk merentangkan benang-benang yang telah bercampur ramuan agar segera kering ditiup angin dan disinari matahari. Di bawah beberapa pohon lainnya tiga gelondong benang sudah kering, siap digulung dan digunakan.

“Eh, lihat sana!” seru Oji seraya menunjuk ke arah sudut langit.

Serentak mereka menoleh ke arah telunjuk Oji. Beberapa layang-layang sudah berkibar di langit. Tidak seperti hari pertama kemarin, yang pada pagi sampai tengah hari mendung menggulung langit dan hujan menghalangi-halangi penerbangan layang-layang, hingga langit dan angin menyisakan ruang selama empat jam sebelum bulatan matahari memerah.

“Anak-anak kampung Gelap sudah nantang!”

“Wah, layang-layang sialan itu mengolokku! Kemarin sore dua layang-layangku ditebasnya. Sialan! Awas ya!”

“Sabar aja, Wan. Orang sabar disayang Tuhan. Sebentar lagi gantian dia merana.”

“Rasakan kelak benang gelas kita!”

“Anak-anak kampung sebelah pasti kalah saing?”

“O ho, tentu dong, Ji. Kita membuat gelasan sendiri. Benang gelas bikinan pabrik seperti punya kita dan mereka kemarin, mana kuat. Aku tadi sudah nyoba. Benang gelasku kemarin kugesek dengan benang gelas bikinan kita yang sudah kering di sana itu. Belum berapa gesekan, benang gelas pabrik itu putus.”

“Iya, Ji. Benang gelas bikinan sendiri itu lebih tajam daripada yang dijual di toko. Kelak kamu lihat sendiri buktinya.”

***

Selama beberapa hari ini kebun Ko Ahi yang dipadati alang-alang dan sedikit pohon jeruk yang tak sudi lagi berbuah menjadi arena adu layang-layang mereka – anak-anak kampungnya Oji dan anak-anak kampung tetangga ada kelompok yang berlaga, dan ada pula yang bersiap-siap mengejar layang-layang yang putus, terutama layang-layang dari membeli di toko. Jika pagi tidak dihukum hujan, mereka akan berlaga hingga lepas tengah hari. Oji pun sering hadir di sana, kendati hampir setiap pulang dari sana ia disambut tempelengan atau jeweran ayahnya.

Namun Oji tidak ikut berlaga, walaupun sejak awal musim ia telah membeli satu buah layang-layang di toko Akin. Layang-layang itu baginya berharga, sebab ia tidak mudah meminta duit kepada orangtuanya untuk sebuah barang mainan yang akan menggiringnya keluar rumah. Apalagi kalau mainan itu tidak kembali ke rumah bersamanya. Ia akan dimarahi habis-habisan, dianggap membuang-buang uang.

Dan, jika ada layang-layang kalah aduan, terlebih layang-layang bagus dari toko seharga ratusan rupiah, spontan anak-anak segera berlari sekuat tenaga sambil membawa patahan pohon panjang dengan sisa-sisa cabang di ujungnya, dan berebutan seolah berebut harta jatuh dari langit. Mereka menerobos semak-semak tanpa alas kaki. Beling, paku bekas, besi karat, tunggul ataupun duri sudah tak lagi dihiraukan.

Tetapi Oji tidak ikut mengejar layang-layang putus itu. Ia hanya menyaksikan. Sebab, pertama, ia selalu kalah berlari. Sebab berikutnya, resiko terkena beling, jatuh, kena tunggul atau terpelecok benda lainnya. Ia takut mengalami kecelakaan kecil lantas disusul hukuman perih dari ayahnya. Sebab lainnya, ia pernah dicurangi oleh seorang kawannya ketika ia hampir berhasil meraih sebuah layang-layang putus yang benangnya tersangkut pada kayu Oji. Mereka sempat adu mulut sebentar sebelum kemudian kakak kawannya datang untuk membantu mengeroyok Oji. Disamping itu ia takut berkelahi. Karena, kalau sampai diketahui ayahnya, ia pasti mendapat hukuman. Dan, jika menang pun, perkelahian akan berbuntut panjang. Bukan saja beberapa kawannya suka main keroyok, melainkan pula perkelahian akan berlanjut pada hari berikutnya. Akhirnya Oji membiarkan layang-layang itu direbut kawannya.

***

Lepas tengah hari setelah hujan reda. Angin tetap mengalir. Meskipun sekarang masih pertengahan musim kemarau, di daerah tinggal Oji atau juga satu pulau hujan selalu turun tiap minggu. Minimal seminggu dua kali. Cuaca selalu tidak jelas. Namun saat hujan reda, anak-anak kampung tidak terlihat di kebun Ko Ahi. Mungkin mereka tengah bersiap-siap. Atau barangkali sedang asyik bermain kapal-kapalan di selokan depan rumah seorang kawannya yang hanya mengalir sesudah hujan.

Oji sendirian di kebun itu. Ia ingin menerbangkan layang-layangnya. Tak lupa layang-layangnya diberinya ekor pada bagian sisi-sisi dan bawahnya, yang berarti bukan untuk aduan. Ia mulai mengulur benang untuk membiarkan layang-layangnya terbawa arus angin, lalu menarik-narik benangnya agar tekanan arus angin kian menaikkan layang-layangnya. Layang-layangnya menanjak ke angkasa yang berlatar sebuah pelangi.

Semula Oji hanya menikmati layang-layangnya sendirian merenangi angkasa. Ekor warna-warni melambai-lambai dan meliuk-liuk berlatar pelangi. Ia senang sekali melihat perpaduan warna itu. Namun sesuatu mulai mengusik pandangannya. Pelangi di balik layang-layangnya tampak lebih indah daripada yang pernah dilihatnya selama ini. Warna-warnanya tegas. Batas tepi lengkungnya jelas. Wujudnya tampak sangat lembut.

Lambat-laun obyek penglihatan Oji bergeser. Keindahan tarian layang-layangnya ternyata kalah indah dibanding pelangi yang melatarbelakangi layang-layangnya. Dekorasi alam itu merampas konsentrasinya. Sungguh menakjubkan. Oji terkesima. Dibiarkannya layang-layangnya menari-nari di angkasa tanpa tarik-ulur jemarinya.

Menit-menit berlalu. Beberapa burung liar sesekali melintasi angkasa. Oji terus terpana. Sesuatu pun terjadi. Sesuatu muncul dari dekorasi langit itu. Sesuatu itu bergerak perlahan. Oji tak berkedip. Sesuatu itu kian mewujud. Perlahan tapi pasti, hingga mata Oji menangkap sosok mirip perempuan. Rambutnya lurus sepanjang atas pinggang. Gaunnya berwarna putih, halus dan lentur seakan dari bahan sutera pilihan. Sesekali angin mengibaskan rambut dan gaunnya. Sosok itu semakin jelas wujudnya, dan tampak tengah menyusuri pelangi seolah berjalan di sebuah jembatan. Barangkali memang jembatan.

Mungkin itu bidadari seperti kata orang-orang, gumamnya.

Astaga! Oji tersentak ketika sosok itu berhenti, lalu melambai ke arahnya seakan sedang menyapanya. Hatinya sangat bersukacita mendapat sapaan semacam itu. Di luar kesadarannya ia membalas lambaian itu. Rupa sosok itu pun sudah nyata. Perempuan seusia kakak sulung kawannya dengan tatapan bersahabat dan berhiaskan senyuman ramah. Dirasakannya tatapan itu istimewa. Tidak seperti ibunya yang suka mengomel, kakaknya yang suka mengadu, ayahnya yang laksana malaikat maut, kawan-kawan sekolahnya yang suka mengejeknya, dan kawan-kawan kampungnya yang suka bertindak kasar padanya tapi berlindung di balik badan tegap kakak mereka.

Sosok yang disebutnya “bidadari” itu melambai lagi, dibarengi tatapan mata yang seakan mengajaknya bersalaman.

“Hei, bolehkah aku ke sana?”

Bidadari itu mengangguk tanpa menyudahi senyuman.

***

Tiga hari ini, entah kenapa, hujan turun berturut-turut dari pagi hingga lepas tengah hari. Oji merasa lebih senang begitu, karena ia bisa enak tidur siang, lalu bertemu lagi dengan sahabat barunya dan tidak terganggu oleh kawan-kawannya yang lebih suka bermain layang-layang di saat cuaca benar-benar cerah semenjak pagi hari.

Selepas siang layar langit kembali terang. Beberapa bongkahan awan kelabu tertinggal. Ibu, kakak dan adiknya masih menikmati sedapnya tidur siang. Ayahnya belum pulang dari tempat kerja. Oji terjaga dari tidur siangnya. Dalam pikirannya kini muncul pelangi dan sosok bidadari. Ia ingin ke kebun Ko Ahi dan berjumpa lagi dengan bidadari itu. Ia lupa pada ancaman ibunya, pengaduan kakaknya dan keterampilan tangan ayahnya. Ingatannya pada pelangi dan bidadari itu bagaikan sedang memanggilnya. Juga kerinduan telah tumbuh. Rindu pada persahabatan, keramahan, dan kelembutan.

Oji mengambil layang-layang yang disimpannya di bawah kasur. Kemudian ia keluar kamar dan tetap berjingkat-jingkat melintasi kamar-kamar. Ia kuatir kepergok akan keluar rumah; bisa gagal rencananya. Keinginannya sudah membulat.

Plak!

Tiba-tiba suara daun pintu menampar dinding ruang keluar karena ditendang angin. Jantung Oji terasa copot. Waduh, jangan-jangan ibu bangun, pikirnya. Tapi keinginannya membengkak. Jika tiba-tiba dihadang, niscaya dadanya meledak dan mengeluarkan segala isi batinnya yang penuh kecewa, duka, dan luka.

Setelah ia berhasil tiba di teras depan, secepatnya ia berlari ke samping rumah yang hanya berpagar tanaman daun mangkok-mangkok. Ia berlari kencang, melompati pagar tanaman, masuk ke tanah tetangga, dan seterusnya hingga ke kebun Ko Ahi.Di kebun milik juragan tahu itu Oji berdiri sembari mendongak. Angin cukup kencang dan arahnya tetap. Seekor burung elang menggerayangi angkasa. Pelangi sudah terbentang. Bidadari itu sedang menunggunya. Oji tidak sabar lagi. Segera dinaikkannya layang-layangnya. Ia berlari-lari melawan arah angin untuk mengangkasakan layang-layangnya. Pergerakan angin memudahkan usahanya. Layang-layangnya semakin naik. Terus, terus dan semakin tinggi.

Pada ketinggian layang-layang sepanjang benang seutuhnya hingga tinggal simpul ikatan pada kaleng, Oji menoleh ke kanan-kiri. Dicarinya pepohonan kecil di dekatnya untuk menggantinya memegang kaleng benang layang-layang. Sebatang kedebik telah menanti. Oji berjalan cepat ke arahnya. Rantingnya langsung dipatahkannya, kemudian kaleng benang layang-layang diselipkannya di situ.

Layang-layang terus berkibar di langit akibat tiupan angin yang agak kencang. Benang menjulur tegang. Kini saatnya, gumam Oji. Ia mengambil ancang-ancang. Lantas, ia mulai naik ke benang. Perlahan tapi pasti dan penuh keyakinan diri ia meniti benang mnuju ke langit bak seorang akrobatik. Bidadari itu tersenyum seakan sedang memberi semangat padanya. Hati Oji kian mantap. Ia ingin lekas sampai di jembatan warna-warni itu, dan tinggal bersama bidadari di langit sana.

*******

Bumiimaji, 2000/2004